Thursday 19 March 2009

Renungan Kematian*

Kita sering mendengar berita kematian namun berita tersebut tidak kerap membuat kita ingat bahwa ia juga akan menjeput kita. Kesibukan duniawi tanpa sadar sering membuat kita lalai sehingga menyangka bahwa kematian hanya untuk orang yang telah lanjut usia. Hasilnya, di umur yang masih muda kita sering berpoya-poya terhadap kehidupan dunia.
Kematian adalah keniscayaan bagi yang dilahirkan, namun tidak akan pernah bisa direncanakan walau oleh seorang ahli menejemen atau peramal sekalipun. Ia datang tanpa melihat tahta, kasta dan harta, ia menjemput siapapun yang pernah terlahir di dunia, jika tidak di masa kecil maka di masa muda, jika tidak di masa muda maka pasti di masa tua. Jikalau kita tahu bahwa kita tidak kekal, mengapa kita menghindar untuk memikirkan kematian??
Kematian adalah pintu dimana semua yang hidup akan memasukinya. Ia datang tanpa melihat waktu dan tempat, bahkan terkadang dengan mendadak menghampiri orang yang sehat. Sebaliknya, orang sakit yang secara medis sudah tidak memiliki harapan hidup, ia kembali sehat dan beraktivitas dalam waktu yang cukup panjang. Tidak jarang kita menyaksikan orang yang kita jumpai di pagi hari, kemudian ketika hari semakin senja kain kafan telah membalut dirinya. Ini artinya bahwa kapan pun dan dimana pun kematian sedang mengikuti kita..!!! “Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan” (Al-Jumah: 8)
Mari kita perhatikan dua kondisi yang sering kita temui, yaitu; ketika bayi akan terlahir dan orang yang sedang mengalami sakaratul maut. Pada dua kondisi itu, keduanya tidak berkuasa sama sekali atas kelahiran dan kematian yang mereka alami saat itu. Si bayi tidak kuasa untuk hidup secara sendirinya dan si mayit tidak kuasa untuk menghindari kematian. Allah-lah yang memberikan nafas kepada si bayi dan mengambilnya kembali saat mati. Kabar ini telah Allah Kabarkan melalui Al-Quran ”…Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu. Dan Kami tetapkan dalam rahim apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya…..(Al-haj: 5)
Dalam menjalani kehidupan, manusia diberikan kesenangan dan kesengsaraan, tidak lain ialah untuk menguji siapa di anatar mereka yang akan bergururan dan siapa yang tetap di Jalan-Nya. “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan” (Al-Anbiya 35).
Setelah kita meninggalkan dunia, kita hanyalah sebuah nama yang terukir di batu nisan di kurburan. Semua perkara dengan manusia terputus melainkan perbekalan “amal baik” yang telah kita pupuk semenjak di dunia. Kesempatan bercocok “amal baik” di dunia telah selesai, time is over..!!! Hanya 3 perkara yang akan selalu menambah pahala di saat kesepian di liang lahat, yaitu; Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak Sholih(1) yang mengirimkan hadiah doa untuk kita (2).
Dia Allah yang menciptakan manusia, maka kepada-Nyalah manusia akan kembali. Manusia dituntut untuk mempertanggungjawabkan kehidupan yang telah Allah berikan kepadanya, tanggungjawab pertama yang harus dipertanggungjawabkan adalah; Siapa yang telah disembahnya?? Para penyembah matahari menuju matahari, Penyembah bulan menuju bulan dan penyembah berhala menuju berhala-berhala. Tersisalah Umat Muahammad (yang sholih dan yang tidak shalih) seraya berkata “Di sinilah tempat kami sampai datang kepada kami Tuhan kami, jika Tuhan kami datang, maka kami pasti akan mengenali-Nya. Kemudian Allah Menuju umat tersebut dan berkata “Aku Adalah Tuhan kalian”. Mereka menjawab “Ya Engkau adalah Tuhan kami”(3).
Selanjutnya dia akan ditanya tentang umurnya, untuk apa dia habiskan?? kemduian tentang ilmunya, dalam hal apa dia pergunakan?? Kemudian tentang rizkinya, dari mana ia dapatkan dan kemana ia keluarkan?? Dan tentang jasadnya, untuk apa dia gunakan??(4). Semua pertanyaan ini akan terjawab oleh keseharian kita semasa hidup. pada saat itu, tidak ada satu manusia pun yang mampu berdusta. Karena semua tercatat dalam “Raport aktivitas” selama hidup di dunia.
Setelah pertanyaan terjawab, maka Allah mempersilahkan kepada orang-orang yang pernah kita zolimi untuk menuntut balas kepada kita. Jika tidak pernah berbuat zolim maka amal kebaikan kita akan tetap. Namun jika kita pernah menzolimi seseorang, sedikit demi sedikit catatan kebaikan kita akan dihapus dan diberikan kepada orang yang pernah kita zolimi. Di sinilah puncak keadilan Mahkamah Ilahi yang tak akan membiarkan para penguasa dan pemimpin yang pernah bebas hukum selama di dunia. Wallahu a’lam

Rahmat Hidayat
02.20 am Waktu Tripoli
Tripoli Libya, 20-03-2009

*Renungan ini disampaikan pada acara ta’ziyah atas berpulangnya ayah dari salah satu sahabat kami di Libya (Mohon do’a, Syukron..!!). (Kamis, 20 Maret 2009, pukul 07.45 pm. Waktu Libya)

(1)Pengkhususan sifat sholeh pada anak dalam hadits tersebut, karena hanya anak sholih sajalah yang akan terus mendoakan ke dua orang tuanya setelah mereka berpulang ke rahmatullah.
(2)Ide diambil dari Hadits Riwayat Muslim, no 3048, Bab maa yalhiqu bil insan mina stawab ba’da wafatihi (maktabah Syamilah).
(3)Petikan Hadits Bukhari, no. 451, Imam Zabidi. 2008, Mukhtashar Shahih Bukhari Al-Musamma At-Tajriid As-Sahriih Li Ahadits Jamii Shahih. (Cairo, Daarul fajar liturats)
(4)Hadits Riwayat Turmudzi, no 2341, Bab Fi Sya’ni ma Jaa Fil hisab wal Qisas (maktabah Syamilah).

Wednesday 18 March 2009

Cermin Pemimpin Yang Hanif

Teruntuk Indonesiaku dan Rekan-Rekanku se Tanah Air.
Di tengah keramaian suasana kampanye serta detik-detik pemilu.

Tampuk Kepemimpinan di idnonesia kini kerap mendekati masa akhirnya, pemilihan pemimpin baru akan kita saksikan dalam waktu dekat. Pemimpin selain harus memiliki sikap intregitas, cerdas, berpengalaman, berwawasan luas dia juga dituntut untuk hanif. yaitu, bagaimana seorang pemimpin bisa menenpatkan dirinya pada dua tanggung jawab. Tanggung jawab di hadapan rakyatnya dan Tuhannya. Sehinga dengan kenikmatan fasilitas yang ia dapatkan dari negara, tidak membuat ia lupa terhadap kesengsaraan rakyat di balik gedung-gedung negara. Karena ia memahami, fasilitas itu walau terkadang rakyat tidak menuntut, namun Allah akan menuntutnya setelah wafatnya. Ingatlah, Mahkamah manusia sungguh sangat sederhana namun mahkamah Sang pencipta tidak mengenal strata dan tahta.
Kisah Umar bin Khattab bisa menjadi cermin bagi kita. Ketika Utbah bin Farqad, Gubernur Azerbaijan, di masa pemerintahan Umar bin Khattab disuguhi makanan oleh rakyatnya. Kebiasaan yang lazim kala itu. Degan senang hati gubernur menerimanya seraya bertanya "Apa nama makanan ini?" Namanya Habish, terbuat dari minyak samin dan kurma" Jawab salah seorang dari mereka.
Sang Gubernur segera mencicipi makanan itu. sejenak kemudian bibisrnya menyunggingkan senyum. "Subhanallah" Betapa manis dan enak makanan ini. Tentu kalau makanan ini kita kirim kepada Amirul Mukminin Umar bin Khattab di Madinah dia akan senang. ujar Utbah. Kemudian ia memerintahkan rakyatnya untuk membuat makanan dengan kadar yang diupayakan lebih enak.
Setelah makanan tersedia, sang gubenur memrintahkan anak buahnya untuk berangkat ke madinah dan membawa habish untuk Khaliofah Umar bin Khattab. Sang khalifahsegera membuka dan mencicipinya.

"Makanan Apan ini?" tanya Umar.
"Makanan ini namanya Habish. Makanan paling lezat di Azarbeijan," jawab salah seorangutusa.
"Apakah seluruh rakyat Azarbeijan bia menikmati makanan ini?' tanya Umar lagi.
"Tidak. tidak semua bisa menikmatinya" jawab utusan itu gugup

Wajah Khalifah langsung memerah pertanda marah. Ia segera memrintahkan kedua utusan itu untuk membawa kembali habish ke negrinya. Kepada Gubernurnya ia menulis surat ".........makanan semanis dan seselezat ini bukan dibuat dari uang ayah dan ibumu. Kenyangkan perut rakyatmu dengan makanan ini sebelum engkau mengenyangkan perutmu"

Sungguh kisah tersebut merupakan pelajaran berarti bagi kita, para orang kaya serta para pemimpin saat ini dan di masa depan. Potret kesenjangan sosial di negara kita begitu nampak. Di sela-sela mobil mewah kita saksikan tangan anak peminta-minta. Di balik gedung-gedung juga terdapat perumahan kumuh milik rakyat jelata. Kemana perasaan iba para pemimpin dan orang kaya di negara kita. Tidakkah mereka menyaksikan pemandangan yang nyata-nyata kontras ini??

Kisah Sa'id bin Amir, Bupati kota Himsha di Syam pada masa Umar bin Khattab, juga menarik untuk kita simak. Ketika awal penempatan Sa'id sebagai Bupati, Umar menawarkan kepadanya bekal materi untuk melengkapi fasilitasnya sebagai Bupati di Hamsha. "Gajiku dari baitul mal (lembaga keuangan negara di zaman itu) cukup untuk memenuhi kebutuhanku wahai Amirul Mukminin" tutur Sa'id menolak tawaran Umar. Kemudian dari madinah Sa'id menuju Hamsha dengan bekal secukupnya.
Di suatu hari Umar memrintahkan seseorang yang dipercayainya di kota Hamsha -selain Bupati- untuk mendata warga msikin di kota itu. "Datalah nama-nama keluarga miskin di kota Hamsha dan aku akan memenuhi kebutuhan mereka". Ujar umar menyuruh orang kepercayaannya. Nama-nama pun terdata dan Umar membacanya. Ternyata terdapat nama Sa'id bin Amir -sang Bupati- dalam daftar itu. "Siapakah Sai'd bin Amir ini?" tanya umar.
"Dia Gubernur kami" jawab pendata nama-nama itu.
"Gubernur kalian miskin???" tanya Umar keheranan.
"Iya, ia memang miskin, bahkan selama ia memimpin, tungku api pun tidak pernah
menyala di rumahnya." jawab orang itu.

Seketika itu umar menangis sampai air matanya membasahi janggutnya. kemudian Umar berkata "Sampaikan salamku kepdanya dan katakan kepadanya, Amirul Mukminin mengirimkan kepadamu harta ini untuk memenuhi kebutuhanmu". harta itu pun dibawa ke Hamsha dan diberikan kepadanya. Setelah harta itu diterima Sa'id, ia tidak menggunakan harta itu untuk keperluannya, namun ia segera membagikannya kepada keluarga-keluarga miskin yang berada di bawah tampuk kepemimpinannya.

Jedah beberapa waktu, Umar pergi menuju negri Syam untuk melihat kondisi rakyatnya di negri itu, ketika tiba giliran melewati kota Hamsha, Umar mengumpulkan masyarakat Hamsa dan bertanya tentang keluhan yang dialami masyarakat terhadap pemimpinnya. "Bagaimana kepemimpinan Bupati kalian??
"Ada beberaoa hal yang kami keluhkan wahai amirul mikminin"
"Apakah hal tersebut??"
"Pertama, ia tidak pernah keluaruntuk melihat kondisi kami kecuali ketika hari sudah
siang"
"Apa Alasanmu atas keluhan ini wahai Sa'id?" Tanya Umar kepada Bupati Sa'id
"Demi Allah sebenarnya aku tidak ingin mengatakan rahasiaku ini di hadapan rakyatku, namum jika memang harus aku katakan maka akan aku katakan. Sesungguhnya keluargaku tidak memiliki pembantu, sehingga aku bangun di setiap pagi untuk membuat roti, sampai roti itu siap saji aku pun berwudhu dan keluar menuju rakyatku"

"kemudian apalagi yang kalian keluhkan??" Tanya Umar kepada rakyat
"Sa'id tidak pernah memenuhi undangan kami di malam hari" keluh rakyat kepada Umar
"Apa Alasanmu atas keluhan ini wahai Sa'id?" Tanya Umar kepada Bupati Sa'id
"Demi Allah sebenarnya aku juga tidak ingin mengatakan rahasiaku ini di hadapan rakyatku, namum jika memang harus aku katakan maka akan aku katakan. Sesungguhnya aku telah berikan semua waktuku sepanjang siang kepada yang aku pimpin, maka ku berikan watu malamku untuk Allah (yang memimpinku).

Kemudian Umar mengirimkan Uang sebesar 1000 Dinar untuk memenuhi keperluan Sa'id bin Amir. Ketika diterima, ia berkata kepada Istrinya
"wahai istriku lebih baik kita berikan uang ini kepada yang memberikannya kepada kita".
"Siapa wahai suamiku?" tanya sang istri.
"Berika uang kepada Allah dengan cara menginfakkannya di jalan-Nya."
"Iya wahai suamiku, semoga Allah membalas kebaikanmu dengan kebaikan lain"

kemudian ia memanggil salah satu anggota keluarganya dan berkata "berikan uang ini kepada, Anak-anak yatim si A, B, .... dan kepada Keluarga miskin A, b, ...... dan kepada Istri-istri yang menjanda A, B, .... dan kepada keluarga Faqir A, B dan ....."

Subhanallah, pada kisah pertama Umar menegur Gubernur yang menikmati kenikmatan tanpa memikirkan rakyatnya. Dan pada kisah kedua Umar memberikan fasilitas kepada Bupati yang begitu memperhatikan kondisi ekonomi rakyatnya, tidak tanggung-tanggung bahkan 1000 Dinar diberikan kepadanya dalam waktu dua kali. Ini artinya, pemimpin memang berhak mendapatkan fasilitas lebih dari negara agar mampu memfokuskan pikirannya kepada urusan negara dan rakyat, sehingga ia tidak lagi disibukkan dengan masalah perut dan kebutuhan rumah tangganya. Namun fasilitas tersebut harus diimbangi dengan perhatian besar terhadap kesejahteraan rakyat. Karena kesejahteraan rakyat erat kaitannya dengan ketentraman hidup bermasyarakat. wallahu a'lam.

Rahmat Hidayat
Kamis, 12 02 2009
4:29 PM Waktu Libya

NB
Kisah Utbah bin Farqad dikutip dari buku karangan "Hepi Andi Bastoni", Belajar Dari Dua Umar. Jakarta: Qalammas 2006
Kisah Sa'id disarikan dari buku karangan DR. Abdurrahman Ra'futi Al-BAsya, "Shuwar Min Hayati As-Shahabah" (Cermin Kehidupan Para Sahabat). Cairo: Daarul Adab Al-ISlami, 1998

أمر المؤمن كله خير

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ * لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آَتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ (الحديد، 22 - 23)

إننا نرى كثيرا من الناس يفرحون بما رزقوا به من ثروات فيخزّنونها ويسدلون عليها الستار ويخفونها عن أعين الناس، ظانين أن ذلك ملك مطلق لهم، كما نجدهم في المقابل يحزنون على ما فاتهم فييئسون من رحمة الله، فإنهم في هذه الحالة قد نسوا أن رزقهم في الحقيقة وديعة استودعها رب العالمين لينفقونها على المحتاجين. أفلا يستحي العبد أن يكون على ضدّ قدره تعالى، فيأسى على ما أخذ منه و يفرح بما ليس له؟؟ بيد أنه ليس كل خير يلحقه ولا شر يصيبه إِلَّا وهو مقدر ومحسوب فكله بقدر مقسوم ولأجل معلوم.
سجل لنا الواقع حاليا في عصر ازدهار العلم والثقافة: أن كثيرا من الناس يعيشون بعقلية عصور التراجع الحضاري التي مرت بها الجاهلية الأولى، فيصبحون عاجزين عن شكر الله عز وجل في السراء والصبر في الضراء. فهذا العجز يرسم لنا فراغ القلوب عن الإيمان. نعم إنهم خبراء وعلماء في العلوم المدنية المعاصرة وعباقرة في القضايا السياسية والاقتصادية غير أن علومهم وخبراتهم لا تجلب لهم السكينة والاطمئنان. فأي وسع ينالونه فثم الترف، وأي ضيق يصيبهم فثم الجزع. فهذا الداء خطره كبير إذ أنه قد يفضي إلى إنزال النفوس منازل الأغنياء عن اللّه.
إذن ما هو منبع الاطمئنان؟؟ لاشك أنه الإيمان بالقدر المسيطر على الوجود، فهو الذي يردّ كل شيء إلى الله سبحانه وتعالى، والاعتقاد بأن كل ما يصيب من خير و شر لا يكون إلا بأمر الله، وهي حقيقة لا يكون الإيمان إلا بها. فهي أساس جميع المشاعر الإيمانية عند مواجهة الحياة وأحداثها، فيحس الإنسان يد الله في كل حدث، ويرى يد الله في كل حركة، فجزاء على ذلك ينزل الله السكينة في قلبه فيطمئن قلبه لما يصيبه من السراء والضراء، "مآ أصاب من مصيبة إلا بإذن الله ، ومن يؤمن بالله يهد قلبه" (التغابن: 11)
إن الإيمان سمة يعرف بها مطمئن النفس ممن سواه، إذ أنه ليس من أحد إلا وهو يحزن ويفرح ويسعد ويشقى غير أن المؤمن يجعل مصيبته صبرا وغنيمته شكرا. حتى أن الرسول  كان يضحك أمام أصحابه عجبا لهذه السمة السامية النبيلة التي لا يتسم بها إلا المؤمن وكان يقول لأصحابه: ألا تسألوني مم أضحك؟؟ قالوا يا رسول الله ومم تضحك؟؟ قال عجبت لأمر المؤمن إن أمره كله خير إن أصابه ما يحب حمد الله وكان له خير وإن أصابه ما يكره فصبر كان له خير وليس كل أحد أمره كله له خير إلا المؤمن (رواه أحمد في مسنده)
فالعجب كل العجب لأمر المؤمن، كله خير وليس ذلك قط إلا لمؤمن، لماذا؟؟ لأنه على منتهى الثقة بالله، والله لا يكلف نفسا إلاّ وسعها، إذ لا يحمّل الفقير مثل ما يحمّل الغني ولا القوي مثل الضعيف ولا المالك مثل المملوك وهو بعباده خبير فضلا عن أن هناك بشارة عظيمة من الحكيم الخبير ألا وهي أن بعد العسر يسر. فقد علق صاحب تيسير الكريم الرحمن في تفسير كلام المنان أن تعريف "العسر" في قوله تعالى "فإن مع العسر يسرا" دل على أنه واحد وتنكير "يسرا" دل على الكثرة والتكرار. وقد روى الإمام مالك في الموطأ عن زيد بن أسلم قال كتب أبو عبيدة بن الجراح إلى عمر بن الخطاب يذكر له جموعا من الروم وما يتخوف منهم فكتب إليه عمر بن الخطاب أما بعد فإنه مهما ينزل بعبد مؤمن من مُنزَل شدة يجعل الله بعده فرجا وإنه لن يغلب عسر يسرين وأن الله تعالى يقول في كتابه "يا أيها الذين آمنوا اصبروا وصابروا ورابطوا واتقوا الله لعلكم تفلحون" (آل عمران: 200)* الحديث صحيح على شرط مسلم و لم يخرجه وتعليق الحافظ الذهبي في التلخيص: على شرط مسلم.

النقطة الثانية هي أن المؤمن يظن بالله حسن الظن حيث أنه تعالى لن يوقعه في موقعة إلا وراءها حكم جلية وفوائد جمة له، فيترك كل أموره اعتصاما بالله وتوكلا عليه وثقة به وانقطاعا إليه، ويطمئن قلبه لما يصيبه من السراء والضراء، فيشكر للأولى ويصبر للثانية بل قد يتسامى إلى آفاق فوق هذا، فيشكر في السراء والضراء، إذ يرى في الضراء فضل الله ورحمته كما في السراء. إضافة إلى أنه على يقين أن الله تعالى أعلم بمصلحته منه. فإن كان كذلك، فكيف يأسى المؤمن على مفقود لا يرده عليه الفوت، أو يفرح بموجود لا يتركه في يديه الموت، فأمر المؤمن كله خير إن أصابته سراء شكر فكان خيرا له وإن أصابته ضراء صبر فكان خيرا له أيضا.
وإليك في نهاية المطاف صبر رسول الله صلى الله عليه وسلم. إنه  كان يربط الحجر على بطنه عند الجوع حينما لا يجد ما يسد رمقه من التمر. وحين يقف على القتلى في معركة أحد ينظر إلى عمه حمزة وقلبه مجلوب، ثم ينظر إلى سعد بن ربيع وهو ممزق، فتدمع عيناه حتى تبتل لحيته ولكنه يتبسم صابرا صبرا جميلا. وعندما توفي ابنه بين يديه وهو في الثانية من عمره كان ينظر إلى ابنه الحبيب ودموعه  تتساقط على خد ابنه وهو يقول "تدمع العين ويحزن القلب ولا نقول إلا ما يرضى ربنا وإنا لفراقك يا إبراهيم لمحزونون (رواه شيخان).
رحمت هدايت لوبس
15 - 03 - 2009 طرابلس الغرب
طالب كلية الدعوة الإسلامية

Saturday 7 March 2009

Kebenaran Ajaran Islam



Keterbatasan Akal dan Kebutuhan Fitrah

Akal adalah out put kerja otak. Dan otak manusia adalah salah satu organ yang serupa dengan organ lainnya. Ia memiliki keterbatasan jangkauan layaknya telinga yang tidak sanggup mendengar gelombang suara berfrekuensi rendah dan mata yang tidak sanggup menembus sitar benda yang menghalanginya. Begitulah kiranya akal yang berupa out put dari otak, ia tidak sanggup menembus zat Tuhan, karena zat Tuhan berbeda dengan zat manusia.

Secara otomatis, manusia akan sulit memahami zat Tuhan jika hanya dengan kekuatan akal. Pemaksaan terhadap akal untuk memikirkan zat Tuhan hanya memplagiat pemikiran filsafat teologi Yunani yang tidak berakhir pada kesimpulan. Dengan berbagai eksperiment ilmiyah, Akal hanya mampu berkesimpulan bahwa dunia dan seisinya tidak mungkin timbul secara sendirinya, Ia pasti memiliki Pencipta. Kemudian akal mencoba mencari siapa Sang Pencipta tersebut. Pada proses pencarian, akal-akal manusia hanya menunjukkan variabel ketidakpastian, variabel ini akhirnya tanpa sadar menundukkan akal itu sendiri. Ketika akal tunduk, hati (bac. keyakinan) mulai berperan dan seketika itulah muncul agama-agama yang berbeda Tuhan. Ada Tuhan roh, Tuhan patung, Tuhan matahari, Tuhan Api dan lain sebagainya. Secara logika, akal sangat sulit menerima bahwa roh, matahari, patung dan Api adalah Tuhan yang sebenarnya. Namun kesulitan akal untuk menerimanya diobati dengan kebutuhan fitrah. Fenomena ini mununjukkan bahwa terdapat Fitrah dalam hati manusia, yaitu fitrah pengakuan terhadap wujud Tuhan.

Mengenal Tuhan Melalui Rasul

Akal telah gagal mencari siapa Tuhan sebenarnya, namun kegagalan akal tidak dapat menghentikan kebutuhan Fitrah untuk mencari-Nya. Dan Tuhan tentunya lebih mengetahui kondisi ciptan-Nya, ia memberikan akal yang tidak sangup memikirkan zat-Nya dan juga memberikan fitrah yang selalu mencari zat-Nya. Merespon kelemahan akal dan kebutuhan fitrah, Tuhan tidak meninggalkan manusia tersesat begitu saja. Dengan kasih sayang-Nya Ia mengutus delegasi untuk memperkenalkan Zat-Nya. Delegasi inilah yang kita kenal dengan sebutan Rasul dan Nabi.

Para delegasi pun tidak di utus tanpa bekal, mereka dibekali suatu hal –kemampuan- yang manusia biasa tidak bisa melakukannya, yaitu mukjizat. Kisah sayembara para penyihir Fir’aun dengan Nabi Musa ‘alaihissalam adalah contoh sederhana dari mukjizat ini. Ketika Fir’aun memerintahkan para penyihirnya untuk menampilkan atraksi, mereka segera melemparkan tongkat dan seketika itu tongkat berubah menjadi ula-ular yang sama besar denga tongkat tersebut. Kemudian saat tiba giliran Musa melemparkan tongkatnya, tongkat berubah menjadi ular besar yang memakan semua ular-ular kecil milik penyirhir Fir’aun. Keajaiban itu, membuat para penyihir Fir’aun –yang ahli persihiran- mengakaui bahwa atraksi Musa adalah di luar kemampuan manusia biasa. Sketika itu juga, mereka tersungkur dengan bersujud seraya berkata: "Kami telah percaya kepada Tuhan Harun dan Musa. (Lih. Thaahaa: 65-71). Subhanallah..!!! demikianlah cermin reaksi Fitrah ketika menemukan Tuhan yang sebenarnya. Fitrah ini membuat manusia tersungkur dan bersujud.

Ketika Allah mengutus Rasul, keterbatasan akal terjawab dan kebutuhan Fitrah mansuia terpenuhi. Manusia mulai mengenal jalan kebenaran dan beribadah dengan tuntunan yang benar. Tata cara dan bacaan Ibadah langsung diajarkan Oleh Tuhan melalui delegasi-Nya. Praktek persembahan sesajen kepada roh, menaruh darah di tempat khusus, menyembah patung dan sujud kepada matahari serta api yang kesemuanya adalah bentuk ibadah produk manusia, telah digantikan dengan tata cara ibadah produk Ilahi. Yaitu, dengan cara yang suci, bacaan yang suci dan keadaan jasmani yang suci.

Mengenal Tuhan melalui Wahyu Ilahi

Para delegasi, selain dibekali mukjizat juga dibekali kitab suci yang menyimpan hakikat zat Tuhan. Kitab itu juga berisi tentang tata cara berinteraksi manusia dengan Tuhannya dan manusia dengan manusia bahkan manusia dengan alam sekitarnya. Ibrahim dibekali dengan shuhuf, Daud dengan Zabur, Musa dengan Taurat, Isa dengan Injil. Kitab-kitab inilah sesungguhnya yang berperan sebagai pembimbing fitrah dan akal dalam mencari Tuhan-Nya pasca sepeningglan para Rasul. Karena Rasul juga adalah manusia biasa, ia pasti akan mengalami kematian, namun kitab akan tetap “awet” seiring perkembangan zaman.

Sepeninggalan Musa hanya Tauratlah yang mampu menjawab keterbatasan akal dan mememuni kebutuhan fitrah dalam menemukan Tuhan yang sebenarnya. Namun kitab tersebut mengalami distorsi oleh tangan-tangan generasi setelah nabi Musa ‘alaihissalam. Sehingga manusia kembali tersesat, Di saat tersesat Allah kembali menurunkan para Nabi; iLyas, Ilyasa, Zulkifli, Daud, Sulaiman, Yunus, Zakariya, Yahya dan sampai akhirnya tiba masa Nabi Isa ‘alaihissalam. Pasca sepeninggalan Nabi Isa, Injil mengalami hal yang sama dengan Taurat. Penyimpangan yang dilakukan pengikut Musa dan Isa terhadap Injil dan Taurat, menghilangkan peran kitab-kitab tersebut sebagai petunjuk kebenaran. Hasilnya, manusia kembali tersesat
Eksperimen ilahi telah membuktikan. Pasca menigggalnya Nabi Isa ‘alaihissalam, selama 600 tahun Allah tidak mengutus Rasul untuk menunjukkan jalan kebenaran sementara kitab suci telah mengalami distorsi. Namun fakta mengabarkan, manusia gagal. Pada masa 6 abad ini, banyak manusia yang kembali menyembah patung-patung dan berhala. Kaum Masehi juga mengalami problema teologi pada akhir abad ketiga setelah kematian Isa. Mengatasi Problema ini, terpaksa mereka selesaikan dengan cara melakukan Konfrensi Nicea pada 325 M. pada titik ini, suatu kesalahan besar dilakukan pengikut masehi, yaitu mengenyampingkan kitab suci dalam memahami Teologi. Sehingga timbul Konsep Trinitas yang selanjutnya dicantumkan ke dalam kitab suci mereka versi distorsi. Aliran Masehi yang masih berpegang keyakinan monoteisme seperti, Arius, Abiun dan Syimsyati, kian runtuh pasca penetapan konsep Trinitas di kalangan pemeluk Masehi.

Peralihan Konsep Tuhan yang dialami penganut Masehi dari monoteis menuju Trinitas adalah dampak dari kesalahan berpijak. Ketika akal dijadikan dasar berpijak dalam memahami teologi, kemudian kitab suci dijadikan notebook untuk mencatat buah pemikiran teologi yang dihasilkan, maka akan terjadi kesenjangan pada konsep teologi yang dihasilkan. Karena lagi-lagi akal tidak akan pernah mampu merumuskan konsep Teologi. Sebaliknya, ketika Kitab suci dijadikan dasar berpijak, maka manusia tidak akan pernah mengalami problema teologi.

Kebenaran Islam.
a. Islam; Agama Produk Tuhan
Perbedaan Zat Tuhan dengan zat manusia, secara otomatis mengeluarkan sifat Tuhan dari “Sunnah kehidupan manusia”. Artinya, jika manusia bersifat lemah, kurang, terbatas dan lalai maka Tuhan terbebas dari sifat itu. Dan jika manusia bersifat cerdas, kuat, tahu dan teliti, Tuhan memiliki sifat “Maha” -yang lebih- dari kecerdasan, kekuatan, pengetahuan dan ketelitian manusia. Dari sini jelas bahwa kesempurnaan dan kebenaran hanya milik Tuhan. Jikalau kebenaran adalah dari manusia, sementara ia bersifat lemah. Maka kebenaran versi mansuai akan memiliki kecacatan. Kecacatan ini yang terkadang ditutupi oleh nafsu manusai sehingga terjadi kleim pembenaran.

Suatu benang merah dapat kita tarik, bahwa syarat utama kebenaran sebuah agama adalah, ia harus bersumber dari Tuhan yang mengetahui kebenaran hakiki, maka Dialah yang membuat jalan menuju kebenaran tersebut, Islam ialah Jalannya. Dia juga yang mengaturnya dan membuat undang-undangnya. Semua itu didesain Oleh Tuhan (Allah) untuk kebaikan manusia dan menunjukkan manusia kepada jalan kebenaran. Ajaran Islam telah disesain sedimikan rupa. Islam menjawab permasalan Teologi dengan konsep ke-Esaan Tuhan. Menjawab kebutuhan fitrah dengan menunjukkan tata cara interaksi dengan Ilahi (bac. Ibadah). Menunjukkan jasmani untuk mengkonsumsi yang baik dan meninggalkan yang buruk demi keseimbangan. Merespon kondisi psikologi manusia dengan mengajarkan konsep tawakkal kepada Ilahi. Memberikan undang-undang ekonomi dengan melarang praktek riba, karena ia merugikan pihak tertentu. Membimbing kehidupan sosial dengan mengajarkan nilai-nilai kejujuran, kesopanan, kedermawanan, kasih sayang dan budi pekerti.

b. Al-Quran; Problem Solver Akal dan Fitrah Manusia
Adalah hikmah ilahiyah, setelah manusia gagal mencari kebenaran selama 600 tahun tanpa Rasul dan wahyu ilahi, Allah mengutus Rasul terakhir-Nya sebagai penutup dari rasul-rasul sebelumnya. Ialah Muhammad sallahu ‘alaihi wasallam. Salah satu perbedaan antara Rasul teakhir, Muhammad, dengan Rasul-rasul sebelumnya, ialah Allah menjadikan kitab suci yang dibekali kepadanya bukan sekedar panduan, tetapi juga sebagai mukjizat. Kemukjizatan Al-Quran tercermin dari keoutentikannya yang tetap terjaga tanpa mengenal tempat dan waktu. Al-Quran akan terus terjaga, dimana penjagaannya bukan hanya dari segi cetakan namun ia tersimpan dalam lubuk hati ribuan manusia. Kerana ketika Al-Quran mengalami distorsi seperti injil dan taurat, maka peran Al-Quran sebagai problem solver Akal dan Fitrah Manusia akan hilang, sementara Muhammad Adalah Rasul Terakhir.

Peran Al-Quran sebagai pemandu menuju kebenaran sejak turun, saat ini dan sampai akhir zaman akan tetap eksis. Ketika kandungannya diteliti dan dipelajari seiring waktu, manusia semakin yakin akan kebenaran isi kandunganya. Dua hal yang terdapat dalam Al-Quran dan tidak ada dalam kitab lainnya, 1. Membimbing fitrah dalam memahami hal metafisika 2. Meneyeru akal untuk berfikir dan meneliti semua hal berbentuk fisik. Dua point ini memiliki kesesuaian dengan character mahkluk manusia, maka tidak heran jika banyak manusia yang masuk ke dalam agama Islam setelah mengtahui isi kandungan Al-Quran.

c. Cahaya Islam menembus Fitrah-Fitrah Manusia Se-Dunia
“Apakah Jumlah pengikutnya bertambah atau berkurang? “Bahkan bertambah” Apakah ia pernah berdusta sebelum ia menyampaikan ajaran tersebut?? “Tidak”. (HR. Bukhari Muslim)
Teks di atas adalah petikan dari dialog anatara Raja Romawi Hereaclus dengan Abu Sofyan. Terjadinya dialog tersebut adalah respon Raja Romawi terhadap Surat yang disampaikan kepadanya dari Muhammad Rasulullah SAW. Abu Sofyan dengan sekelompok musyrikin mekah pergi ke Negri Syam untuk melakukan perniagaan, ketika kami berdagang di Syam, tiba-tiba datang sekelompok pasukan Herakles. Mereka bertanya kepada masyarakat pasar, “apakah di pasar ini ada bangsa Arab?? Kemudian masyarakat pasar memberitahukan mereka ke arah Abu Sofyan dan kaumnya. Sehingga Abu sofyan ditangkap dan dibawa ke kerajaan Romawi. Di dalam kerajaan itulah terjadi dialog tersebut dengan disaksikan para pembesar kerajaan dan pembesar agama.

Ketika Abu sofyan ditanya “Apakah Jumlah pengikutnya bertambah atau berkurang?” Ia menjawab “Bahkan bertambah”. Heraeclus berkomentar “Begitulah iman, ia akan terus tetap sampai sempurna”. Jawaban dan komentar ini sungguh sangat nyata dan benar adanya. Islam berawal dari lembah Mekah yang jauh tertinggal oleh kemegahan peradaban Romawi dan Persia saat itu. Namun cahaya kebenarannya tidak ada yang mampu menahannya walau musuh sekalipun, ia menembus fitrah-fitrah manusia di sekelilingnya. Kaum perisa yang diawali oleh Salman Alfarisi dan Romawi oleh Shuhaib Ar-Rumi akhirnya meyakini kebenaran ajaran Islam dan menjadi unsur penyebaran ajaran Islam itu sendiri. Dengan seiring waktu cahaya kebenaran Islam terus terpancar menembus batas benua-benua di dunia.

d. Kejujuran; Title Pembawa Ajaran Islam
Ketika Abu Sofyan ditanya Apakah ia pernah berdusta sebelum ia menyampaikan ajaran tersebut?? Ia menjawab “tidak” Kemudian Herakles berkomentar “Ketahuilah, bahwa dia yang tidak pernah berdusta kepada manusia, maka dia tidak akan pernah berdusta kepada Tuhannya (allah), karena yang dibawanya adalah Ajaran Tuhannya (Allah)”
Pembawa Ajaran Ini adalah manusia di dunia yang tidak pernah berdusta, baik sebelum diangkat sebagai Rasul atau sesuadah. Semenjak Lahir Muhammad Rasulullah terkenal dengan kejujuran, amanah dan kesopanan. Title itu diberikan khusus kepadanya oleh masyarakat Mekah saat itu, bahkan Abu Sofyan yang saat itu masih dalam Keadaan Kafir mengakui kejujuran Rasulullah SAW. Kejujurannya pun berbuah kepercayaan kaum Yahudi untuk menitipkan barang mereka kepada Nabi Muhammad SAW.

Kejujuran Pembawa ajaran Islam menyatakan kebenaran yang dibawanya. Cahaya kebenaran Islam ini memberikan power keberanian kepada Rasulullah untuk mengajak raja sekalipun. Bukan hanya Raja Romawi yang diajak kejalannya bahkan Raja Persia juga menerima surat darinya.
Selain kejujuran, sampai saat ini biografinya begitu jelas, tanggal lahir, kematian sampai sifat-sifat mulainya, semua tertulis di banyak buku sirah nabawiyah dalam berbagai literasi bahasa. Melalui buku-buku tersebut kita akan mengetahui siapa sesungguhnya Muhammad bin Abdullah. Menanggapi pertanyaan itu ‘Aisyah pun pernah berkomentar “Pribadinya adalah Al-Quran”
Jikalau saat ini ada yang mengatakan bahwa Rasulullah penyihir dan Al-Quran adalah produknya. Itu adalah Fitnah. Sesungguhnya usaha itu sebenarnya sudah dilakukan oleh para pembenci Islam semenjak beliau hidup. Saat ini, di ketiadaan beliau, mereka mencoba menghapuskan sosok Muhammad dari benak umat Islam. Pada Hakikatnya, hati mereka mengakui kejujuran dan keberan ajaran Muhammad, namun nafsu-nafsu membutakan mata hati mereka. “Sebahagian besar Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma'afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Al-Baqara: 109)

Rahmat Hidayat Lubis
Tripoli, 27 Februari 209
Pukul 12.30 Waktu Libya.

Daftar Pustaka
• DR. Mas’ud Abdullah Khalifah Wazni. 2007. Dirasaat Fil Ilmilkalam. (Tripoli: Kulliyah Dakwah Islamiyah)
• Syauqi Abu Khalil. 2003. Hadharah ‘Arabiyah Islamiyah. (Tripoli: Kulliyah Dakwah Islamiyah)
• DR. Aid Al-Qarni. 2002. Rahmatan Lil Alamin. Beirut: Daarul Hazm)
• DR. Saih Ali Husen. 2005. Al-Aqidah Bainal Wahyi wal Falsafati wal Ilmi. (Tripoli: Kulliyah Dakwah Islamiyah)
• DR. Ali Abdul Wahid Wafi. 2006. Al-Asfar Al-Muqaddasah Lil Adyan As-Sabiqoh. (Cairo: Nahdhoh Mesir)